24 Desember, 2007

UNTUK IBUKU ..

Peringatan Hari Ibu di Indonesia tidak semarak seperti hari besar lainnya. Bahkan, tidak ada tradisi khusus untuk merayakan ataupun memberikan tempat yang istimewa kepada kaum Ibu. Bagaimana pun mengungkapkan rasa terima kasih dan cinta kepada Ibu, merupakan sikap mulia anak kepada orangtua. Karena tanpa pengorbanan dan kasih , kita tak mungkin menjadi insan yang mandiri dan berhasil menjadi "orang".
Keinginan untuk menyadarkan penghargaan kepada Ibu, diwujudkan oleh tim kreatif mahasiswa ITKP (Institut Teknologi Komunikasi Pemasaran) Jakarta, yang dapat Anda lihat dalam 2 (dua) dramatisasi iklan layanan masyarakat yang dibuat pada tahun 2005.

Selamat Hari Ibu !

21 Desember, 2007

PENTINGKAH NOMOR PONSEL ORANGTUA ?



Setiap kali kita membuka rekening baru atau menjadi nasabah suatu bank, maka di dalam persyaratan tidak hanya harus dicantumkan nomor telepon rumah, juga harus diisi nomor telepon seluler (ponsel).

Dalam perkembangannya, telepon seluler memang nyaris menjadi personal identification bagi masyarakat Indonesia, mengingat harga ponsel sudah semakin terjangkau (ponsel baru hanya sekitar 200 ribu rupiah, apalagi yang bekas bisa lebih murah). Tidak heran, jika kita menjumpai tukang sayur dan penjual mie ayam sedang asyik berponsel ria.

Namun pada kenyataannya, hampir semua sekolah tidak mempunyai data nomor ponsel orangtua siswa. Penting kah nomor ponsel orangtua ?


Akses

Menghubungi orangtua siswa melalui telepon rumah (fixed phone), tidak selalu berhasil berbicara langsung - terutama dengan Ibu karena yang bersangkutan sedang berpergian. Repotnya lagi, jika orangtua siswa yang keduanya bekerja, namun pihak sekolah harus segera memberitahukan informasi penting.

Tentu saja, akan membebani sekolah jika sering frekuensi menghubungi ponsel orangtua. Bisa dipastikan anggaran biaya telepon membengkak. Cara yang paling ekonomis dan segera diterima infomasi dari sekolah oleh orangtua adalah melalui SMS. Baik melalui ponsel milik pribadi guru maupun dengan memanfaatkan sistem SMS Sekolah.

Namun untuk mendapatkan akses ke ponsel orangtua tidaklah mudah seperti yang diduga. Faktor kesulitan memperoleh data akses tersebut, antara lain:

  • - Surat edaran tidak diberikan oleh siswa kepada orangtua.
  • - Siswa akan menulis nomor ponsel miliknya sendiri atau temannya, jika diminta mengisi formulir.
  • - Orangtua ragu dan takut merasa terganggu ataupun dibebani biaya berlebihan


Sosialisasi

Penjelasan secara rinci dari pihak sekolah akan maksud dan tujuan mengumpulkan data ponsel orangtua, sangatlah menentukan tingkat pengertian dan kepercayaan mereka. Dan upaya untuk mensosialisasikan hal ini secara tepat dan efektif adalah pada saat acara pertemuan dengan orangtua, misal: pendaftaran siswa baru, pengambilan rapor dan pertemuan lainnya.
Bisa dipahami pula, jika terdapat orangtua siswa yang memang tidak memiliki ponsel (sekitar 8 - 15 persen). Tetapi bukan berarti menunda pengumpulan data nomor ponsel orangtua siswa. Terbukti, menyampaikan pesan langsug ke orangtua melalui ponsel mereka lebih efektif.

WALI KELAS MENANTI


Pembagian rapor di sekolah-sekolah Jakarta memang beragam. Ada yang sudah membagikan sejak tanggal 19 Desember, 22 Desember hingga awal Januari. Menurut keterangan yang dikumpulkan dari sejumlah sekolah, hal ini disebabkan pelaksanaan ulangan yang berdekatan dengan hari libur, serta kewajiban sekolah SMA untuk melaporkan hasil nilai ke SAS (Sistem Administrasi Sekolah) Diknas. Kendati pun demikian, hampir semua sekolah libur dalam waktu yang bersamaan.
Topik yang hendak dikupas bukanlah perbedaan waktu penerimaan rapor, melainkan fenomena sedikitnya orangtua yang tidak hadir dalam pengambilan rapor putra-putrinya. Terlebih lagi, bila sekolah tersebut membebaskan biaya SPP alias gratis. Hingga tengah hari, wali kelas bisa menghitung dengan jari jumlah rapor yang sudah diambil orangtua.
"Dulu, orangtua yang mengantri di luar kelas untuk mengambil rapor, keluh seorang Ibu Guru sebuah sekolah menengah negeri, kini wali kelas yang harus sabar menunggu kedatangan orangtua murid. Bahkan setelah waktu habis, masih banyak rapor yang belum diambil oleh orangtua.


Prioritas

Menjelang libur akhir tahun, banyak orangtua yang sudah merencanakan pergi berlibur. Apalagi disertai dengan harpitnas (hari kejepit nasional) merupakan pilihan ambil cuti sehingga waktu berlibur lebih panjang.
Sedangkan penerimaan rapor, acapkali berada diantara waktu cuti yang telah diambil orangtua. Maka, untuk segera berangkat berlibur atau mengambil dulu rapor anaknya, umumnya pada pilihan pertama dengan berbagai alasan: tiket sudah dipesan, hotel sudah di booking, acara padat, menghindari lalu lintas padat di puncak, dan sebagainya. Soal rapor ? nanti saja sepulangnya dari berlibur. Apakah tidak ingin mengetahui bagaimana prestasi belajar putra-putrinya ? Ingin tahu tapi bisa nanti. Jadi lebih memprioritaskan berlibur ? Hmm .. karena harus menyesuaikan waktu dengan banyak orang (anggota keluarga).


Ubah ?

Boleh jadi sistem nilai masyarakat terhadap pendidikan telah bergeser. Terbelenggu oleh kesibukan kerja dan agenda padat keluarga, langkah kompromis dan praktis cenderung diambil, malahan kini menjadi suatu hal umum. Jika demikian, apakah berarti orangtua kurang peduli terhadap perkembangan pendidikan putra-putri mereka ? Atau mungkin sekolah harus mengkaji ulang waktu pembagian rapor, agar orangtua siswa bisa hadir ? Lantas, bagaimana dengan orangtua yang tetap enggan dan malas datang ke sekolah sekalipun waktu pengambilan rapor tidak berbarengan dengan hari libur nasional ? Atau tidak perlu kah rapor diberikan langsung kepada orangtua, cukup melalui siswa ?


Pertangungjawaban

Momen penerimaan rapor, bukan semata pertanggungjawaban pihak sekolah dan kewajiban siswa atas proses belajar yang telah dicapai kepada orangtua. Kesempatan itu sekaligus dijadikan silaturahmi dan konsultasi, baik dari pihak sekolah maupun orangtua. Terutama, jika siswa bermasalah terhadap mata pelajaran maupun yang menyangkut moral kepribadian dan kedisiplinan.
Peran orangtua sangat penting sebagai sebagai mitra sekolah dalam mendorong siswa untuk berhasil dan bersama-sama melakukan tindakan pencegahan atas perilaku yang merugikan siswa.
Persoalan yang kini dihadapi sekolah, adalah kian sulitnya mengundang orangtua untuk hadir (hanya sekitar 35 – 45 persen yang hadir) dalam berbagai pertemuan penting. Di lain pihak, orangtua pun mengeluhkan kegiatan pertemuan orangtua- sekolah yang menyita waktu mereka bekerja maupun kegiatan/ sosialisasi di hari Sabtu.
Namun, jika hambatan ini dibiarkan berlarut-larut, komunikasi orangtua dan sekolah minim serta kurang efektif, siapakah sesungguhnya yang kelak dirugikan jika terjadi kegagalan studi dan timbulnya persoalan serius menyangkut pelanggaran hukum oleh siswa ?




15 Desember, 2007

PERGUMULAN

Bapak Bernama sulit mempercayai, limabelas tahun berjuang membangun kesejahteraan keluarga, dalam waktu sehari bisa kandas dan membuatnya sungguh putus asa. Hari itu, ia mendapat panggilan dari polisi bahwa anaknya yang pertama telah menusuk hingga merenggut nyawa korban siswa sekolah lain dalam tawuran pelajar. Padahal keluarga Pak Bernama selama ini dikenal sebagai warga yang terpuji karena sangat menonjol sifat kegotong-royongan dan ringan tangan menolong siapa pun yang memerlukan bantuannya. Tidak hanya tetangga, rekan guru di sekolahnya mengajar, serta merta riuh mempergunjingkan peristiwa tragis tersebut. Kedamaian kini berguncang hebat.


Sesak
Pak Bernama dan isterinya tidak tahu dari mana mengurai ihwal penyebab kenapa anaknya bisa berbuat senekat itu. Selama ini, anak sulung dari ketiga bersaudara menunjukkan sikap yang santun dan menghormati kedua orangtuanya.
Bahkan, setiap pulang sekolah kerap membantu Ibunya menjaga warung mereka yang telah menjadi andalan ekonomi keluarga.
Warga di lingkungan mereka tinggal, mengenalnya sebagai anak yang rajin beribadah. Cara bergaulnya pun wajar dan tidak terdengar pernah membuat keributan. Tentu saja, selain tak habis pikir, banyak tetangga yang mengungkapkan rasa keprihatinan dan penyesalan.
Namun, hal tersebut malah membuat isterinya merasa tertekan hebat. Rasa malu, sedih dan kecewa bercampur. Ia sulit menerima kenyataan berpisah dengan anak yang dicintainya mendekam dalam LP anak. Isterinya menjadi sulit diajak berkomunikasi dengan tenang.
Beban pikiran yang berat, dan menyesakkan hati merisaukan nasib dan masa depan anak mereka. Semua nitu, membuat Pak Bernama dan isterinya, sering bersikap kasar satu sama lain. Kemesraan dan kasih yang dulu menghiasi kehidupan suami isteri telah lenyap berganti murung dan kebisuan.
Memang, masih ada 2 anak lagi yang membutuhkan perhatian dan cinta mereka berdua. Tapi, mana bisa melupakan kerinduan terhadap putera sulung mereka. Pergumulan batin terus berkecamuk, entah kapan berlalu dan usai.

Siapa lagi ?
Ilustrasi di atas bisa menimpa setiap keluarga. Terutama, bila orangtua merasa terlalu yakin bila putera-puteri mereka adalah "anak baik-baik" seperti yang terlihat ketika di rumah. Kelengahan ini bisa membuat orangtua dan anak dihadapkan pada situasi "Silent Communication".
Segala gerak-gerik anak yang sebetulnya bisa mengundang tanda tanya, bisa terluput karena situasi yang dianggap aman dan nyaman. Barulah orangtua akan terperangah, ketika di belakang mereka, ternyata anak melanggar norma sosial dan hukum. Kasus kenakalan remaja tak hanya marak diberitakan media massa, juga tak pandang bulu memilih korbannya.
Apa yang sebaiknya kita lakukan sebagai orangtua menyikapi generasi platinum yang sarat dengan aroma kebebasan ? Berikut dikutip saran dari berbagai sumber dan semoga bermanfaat:

  1. Luangkan waktu seminggu sekali bersama keluarga untuk beribadah di rumah, sekaligus melakukan "sharing & learning" sesuai ajaran agama masing-masing.
  2. Ajaklah anak untuk mendiskusikan persoalan yang sedang aktual di dunia remaja dan kaum muda: musik, film, gaya hidup, lingkungan, hobi, dsbnya.
  3. Dampingilah anak sebagai penasehat dan pelindung, ketika mereka menghadapi persoalan yang dianggap sulit.
  4. Perhatikan dengan siapa anak bergaul dan aktivitas apa saja yang sering mereka lakukan.
  5. Bukan menghakimi, melainkan membimbing dengan teladan.
  6. Ajaklah anak untuk aktif dalam kepedulian sosial.
  7. Mintalah informasi dari sekolah secara kontinyu untuk memantau perkembangan prestasi akademik, disiplin serta tindakan preventif.

06 Desember, 2007

ADA CARA AMPUH AGAR SISWA JUJUR ?


Pepatah bijak mengatakan: kebohongan adalah awal dari kejahatan. Sumber utamanya adalah lidah yang berdampak menciptakan segala sesuatu menjadi lebih baik, atau justru sebaliknya menjadi penghancur yang akibatnya sangat dahsyat. Siswa yang terus menerus berbohong kepada orangtua dan sekolah, pada akhirnya harus menerima kenyataan gagal studi ! Bukan hanya orangtua yang kecewa dan mendapat malu, sekolah pun bisa tergerus citranya sebagai pendidikan yang kurang bermutu. Bagaimana cara mengatasinya ? Efektifkah SMS Sekolah yang kini mulai marak dimanfaatkan sejumlah sekolah, terutama di Jakarta ?





Fenomena Bohong

Konon, bohong merupakan penyakit turun temurun. Boleh jadi kebohongan siswa dalam membolos, kabur, menyembunyikan nilai jelek ulangan, hingga menilep uang sekolah akan dianggap lumrah: “Siapa sih, diantara kita yang tidak melakukan kenakalan tersebut ketika dulu bersekolah ?”.

Yang menjadi persoalan adalah kebohongan masa kini, tidak hanya semakin kreatif dan nekat, namun menjurus pada perilaku yang melanggar batas norma moral dan hukum. Disiplin maupun setidaknya jujur kepada diri sendiri, menjadi barang langka, sehingga membawa siswa pada perbuatan tercela: terlibat narkoba, kekerasan sesama siswa, seks bebas dan video porno. Kondisi ini jika diremehkan akan menjadi “vicious circle” yang kian waktu akan menjadi beban bangsa dalam melahirkan sumberdaya manusia yang berkualitas.

Jika aib sudah menimpa siswa, penyesalan orangtua dan nama baik sekolah tak dapat lagi menolong siswa dari jerat hukum dan kegagalan studi.
Namun, adilkah kita menimpakan “dosa” hanya kepada siswa, jika upaya maksimal pencegahan terlupakan oleh orangtua dan sekolah ?

Terlupakan

Bekerjasama bukan sama-sama bekerja, kalimat ini mungkin sudah kita dengar ratusan kali. Namun, karena alas an kesibukan orangtua yang suami-isteri bekerja atau aktif berorganisasi, maka ketersediaan waktu untuk berkomunikasi dengan siswa maupun pihak sekolah menjadi sangat minim.

Pihak sekolah pun berkilah, tidak mudah dan tidak murah jika setiap hari harus menghubungi telepon seluler orangtua siswa karena belum tentu bisa dihubungi di rumah.
Padahal cara konvensional melalui surat edaran dimaklumi kurang efektif, karena banyak yang tidak sampai ketangan orangtua, jika siswa merasa terancam perihal isi surat edaran tersebut.

Terlupakan, bahwa orangtua tidak dapat menyerahkan sepenuhnya tanggungjawab putera-puterinya kepada sekolah, sekalipun sudah membayar mahal untuk semua fasilitas yang serba canggih.
Terlupakan, bahwa orangtua sesungguhnya juga ingin mendapat segala informasi tentang perilaku dan prestasi akademik putera-puteri mereka.
Namun, adakah sarana yang mendukung kedua-belah pihak: orangtua dan sekolah agar dapat menjalin komunikasi yang interaktif ?

Info Penting

Harapan setiap orangtua, putera-puteri mereka menjadi lebih pandai dan mempunyai kehidupan masa depan yang lebih baik dibandingkan orangtuanya. Karena itulah, orangtua tentunya akan memberikan respons yang positif terhadap semua informasi yang menyangkut perkembangan dan kemajuan pendidikan putera-puterinya.

Menjelang pertengahan tahun 2007, sejumlah sekolah di Jakarta mulai memanfaatkan fasilitas layanan informasi sekolah melalui SMS atau popular disebut: SMS Sekolah.
Informasi yang diberikan memang baru satu arah (push) dari sekolah ke orangtua, mengenai: absensi, nilai harian maupun ulangan umum, info individual dan info umum.

Penyelenggara layanan tersebut antara lain: i-Skola (www.iskola.jatismobile.com) dan Flexiskul (www.flexiskul.com) yang dapat diakses oleh sekolah untuk pengiriman pesan SMS melalui internet., dengan rentang biaya mulai dari Rp. 300,- hingga Rp. 1.000,- per SMS. Beberapa sekolah yang telah memanfaatkan fasilitas tersebut, misalnya: SMA Lazuardi Islamic Boarding School di kawasan Depok, SMPN 68 Cipete-Jakarta, SMAN 70 Kebayoran-Jakarta, SMP Muhammadiyah 35 Jakarta, SMUN 1 Ciputat-Jakarta, SMA PGRI 3 Jakarta, dan Sekolah Bola SSI-Arsenal, Jakarta.

Mari Berbagi

Dari tinjauan di lapangan, SMS Sekolah marak digunakan sekitar bulan Agustus 2007, sehingga teramat dini untuk mengkaji perubahan perilaku siswa dan dampak positifnya bagi prestasi akademik.

Kendati pun demikian, tentunya Kepala Sekolah dan Orangtua dapat berbagi pengalaman kepada kita semua dalam trial program SMS Sekolah. Sekaligus sebagai upaya mewujudkan insan Indonesia yang “berbuah” bagi bangsa dan lingkungan di mana ia berada.

Untuk itulah forum ini berada !