15 Desember, 2007

PERGUMULAN

Bapak Bernama sulit mempercayai, limabelas tahun berjuang membangun kesejahteraan keluarga, dalam waktu sehari bisa kandas dan membuatnya sungguh putus asa. Hari itu, ia mendapat panggilan dari polisi bahwa anaknya yang pertama telah menusuk hingga merenggut nyawa korban siswa sekolah lain dalam tawuran pelajar. Padahal keluarga Pak Bernama selama ini dikenal sebagai warga yang terpuji karena sangat menonjol sifat kegotong-royongan dan ringan tangan menolong siapa pun yang memerlukan bantuannya. Tidak hanya tetangga, rekan guru di sekolahnya mengajar, serta merta riuh mempergunjingkan peristiwa tragis tersebut. Kedamaian kini berguncang hebat.


Sesak
Pak Bernama dan isterinya tidak tahu dari mana mengurai ihwal penyebab kenapa anaknya bisa berbuat senekat itu. Selama ini, anak sulung dari ketiga bersaudara menunjukkan sikap yang santun dan menghormati kedua orangtuanya.
Bahkan, setiap pulang sekolah kerap membantu Ibunya menjaga warung mereka yang telah menjadi andalan ekonomi keluarga.
Warga di lingkungan mereka tinggal, mengenalnya sebagai anak yang rajin beribadah. Cara bergaulnya pun wajar dan tidak terdengar pernah membuat keributan. Tentu saja, selain tak habis pikir, banyak tetangga yang mengungkapkan rasa keprihatinan dan penyesalan.
Namun, hal tersebut malah membuat isterinya merasa tertekan hebat. Rasa malu, sedih dan kecewa bercampur. Ia sulit menerima kenyataan berpisah dengan anak yang dicintainya mendekam dalam LP anak. Isterinya menjadi sulit diajak berkomunikasi dengan tenang.
Beban pikiran yang berat, dan menyesakkan hati merisaukan nasib dan masa depan anak mereka. Semua nitu, membuat Pak Bernama dan isterinya, sering bersikap kasar satu sama lain. Kemesraan dan kasih yang dulu menghiasi kehidupan suami isteri telah lenyap berganti murung dan kebisuan.
Memang, masih ada 2 anak lagi yang membutuhkan perhatian dan cinta mereka berdua. Tapi, mana bisa melupakan kerinduan terhadap putera sulung mereka. Pergumulan batin terus berkecamuk, entah kapan berlalu dan usai.

Siapa lagi ?
Ilustrasi di atas bisa menimpa setiap keluarga. Terutama, bila orangtua merasa terlalu yakin bila putera-puteri mereka adalah "anak baik-baik" seperti yang terlihat ketika di rumah. Kelengahan ini bisa membuat orangtua dan anak dihadapkan pada situasi "Silent Communication".
Segala gerak-gerik anak yang sebetulnya bisa mengundang tanda tanya, bisa terluput karena situasi yang dianggap aman dan nyaman. Barulah orangtua akan terperangah, ketika di belakang mereka, ternyata anak melanggar norma sosial dan hukum. Kasus kenakalan remaja tak hanya marak diberitakan media massa, juga tak pandang bulu memilih korbannya.
Apa yang sebaiknya kita lakukan sebagai orangtua menyikapi generasi platinum yang sarat dengan aroma kebebasan ? Berikut dikutip saran dari berbagai sumber dan semoga bermanfaat:

  1. Luangkan waktu seminggu sekali bersama keluarga untuk beribadah di rumah, sekaligus melakukan "sharing & learning" sesuai ajaran agama masing-masing.
  2. Ajaklah anak untuk mendiskusikan persoalan yang sedang aktual di dunia remaja dan kaum muda: musik, film, gaya hidup, lingkungan, hobi, dsbnya.
  3. Dampingilah anak sebagai penasehat dan pelindung, ketika mereka menghadapi persoalan yang dianggap sulit.
  4. Perhatikan dengan siapa anak bergaul dan aktivitas apa saja yang sering mereka lakukan.
  5. Bukan menghakimi, melainkan membimbing dengan teladan.
  6. Ajaklah anak untuk aktif dalam kepedulian sosial.
  7. Mintalah informasi dari sekolah secara kontinyu untuk memantau perkembangan prestasi akademik, disiplin serta tindakan preventif.

Tidak ada komentar: